Ketika Hujan Turun
Tetesan air menemani suasana sore didaerah terpencil dari sudut kota. Dinginnya angina mulai menusuk hingga tulang iga. Berisik suara runtuhan air kecil-kecil yang membuat orang-orang mendepis masuk dan menghentikan aktifitasnya. Nampak kekacauan terfokus pada satu titik terang dengan lampu sekitar 15 watt. Yang terdengar ada sedikit konflik yang mungkin dapat mengakibatkan perang dunia ke-III.
Bu Wage : Yanto sudah besar pak. Malam ini juga malam minggu. Mungkin, Yanto juga
punya acara dengan teman-teman ataupun pacarnya, Pak (bujuk bu Wage
dengan wajah yang memelaskan dirinya demi anak tersayangnya)
Pak Wage : Apalagi untuk pacaran, dia itu seharusnya kerja dulu. Biar tidak minta-minta bapaknya. Aneh sekali, orang miskin kok pacaran. Dasar tidak tahu diri (dengan emosi pak Wage yang meledak-ledak dengan detak jantung yang berdetak satu tera perdetik)
Bu Wage : Yanto itu juga sudah remaja pak. Sudah wajarlah apabila dia sudah pacaran. Apa ada undang-undang yang melarang orang melarat kayak kita ini nggak boleh pacaran? ( dengan ngotot dan tetap berpihak pada anak tersayangnya)
Pak Wage : Tidak, tidak, tidak pokoknya tidak (dengan nada membentak murka). Susah payah aku narik becak dengan keringatku yang terbuang dan tak ada harapan untuk bisa merubah hidup menjadi lebih layak. Aku narik becak ini untuk biaya bertahan hidup keluarga kita. Bukannya untuk membiayai orang yang pacaran. Pokoknya tidak ya tidak. (pak Wage berinjak meninggalkan bu Wage dan Yanto)
Bu Wage : Sudah nak, kamu ndak usah khawatir. Ibu akan jual ayam yang ada di kandang belakang. Biarkan saja bapakmu marah-marah terus. Biar cepat tua.
Yanto : Tapi bu. Bagaimana jika bapak tahu kalau ibu menjual ayamnya. Yanto takut kalau dimarahi oleh bapak, bu.
Bu Wage : Tenang nak. Nanti ibu yang bicara sama bapakmu kalau bapakmu marah.
Yanto : Ya sudah bu. Terimakasih banyak ibu.
Pak Wage mengetahui tentang semua yang dilakukan istrinya untuk menjual ayamnya untuk anaknya. Tapi pak Wage tidak mengambil tindakan apapun. Dia hanya diam saja dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Bu Wage :Wah….
Alhamdullillah….
Anakku sudah besar, cakep, sudah cepat bermalam mingguan dengan pacar kamu. Pasti pacar kamu sangat terpesona dengan kegantengan anakku ini.
Tiba-tiba pak Wage keluar tanpa pamit dan membisu seribu bahasa. Tanpa berfikir panjang, digapailah becak kesayangannya dan mengayuhnya dengan sekuat tenaga ia lakukan.
Kini, selamat datang kegelapan. Sore senja berubah menjadi pucat pasi hitam. Bukan mendung. Tetapi memang malam telah datang. Tetap ditemani dengan rintikan hujan yang menghiasi perjalanan pak Wage dengan menikmati untuk mengayuh becaknya dan mengantarkan semua penumpangnya ketempat dimana penumpang tuju. Dan saatnya pak Wage mengistirahatkan diri dan berhenti di basecamnya. Yaitu sebuah pangkalan tempat dimana tukang becak biasanya berkumpul. Tiba-tiba terselip satu fikiran yang teramat cerdasnya difikiran pak Wage
Pak Wage :’ malam minggu. Biasa di gedung bioskop hari-hari seperti ini ramai pula’
Akhitnya pak Wage berinisiatif untuk mengayuh becaknya menuju depan bioskop. Ternyata filmnya hamper habis. Dan saat itulah para tukang becak berebut penumpang.
Dan semakin malam, semakin habis tukang becak. Tetapi pak Wage tetap berusaha untuk mencari nafkah demi keluarga yang sangat ia sayangi. Hingga larut malam, ia rela menahan hujan yang teramat deras dan menahan rasa kedinginan yang menusuk-nusuk tulang rusuknya. Tapi pak Wage tetap berusaha mencari penumpang
Pak Wage : Becak mas? Becak ? ada yang mau naik becak mas ? mbak?
Akhirnya pak Wage mendapatkan penumpang lagi dan penumpang itu menyebutkan sebuah jalan yang penumpang tuju
Pak Wage : Empat Ribu saja mas.
Pak Wage terasa sangat lelah dan kehabisan tenaga saat ia sudah bolak-balik hingga 4 kali mengantarkan penumpang. Tapi pak Wage masih ingin mencari 1 penumpang terakhir , dan setelah itu ia akan pulang kerumahnya. Tiba-tiba pak Wage melihat sepasang pemuda yang berada didepan gedung bioskop yang lumayan gelap.
Pacar Yanto :” Mas, bagaimana jika kita pulang sekarang saja ( dengan digandengkan tangannya untuk mencari kehangatan dan perlindungan dari Yanto)
Yanto : Nanti saja lah dik. Nunggu hujannya reda dulu. Baru kita nanti langsung pulang.( jawab Yanto dengan sedikit membujuk)
Pacar Yanto : Kenapa nanti mas? Apa tidak takut kemalaman nanti jika tidak segera pulang? Kelihatannya disitu juga ada becak yang kosong mas? ( dengan mengacungkan telunjuknya kearah dimana becak itu terparkirkan). Kalau mas nggak punya uang untuk membayar ongkos becaknya, nanti biar aku saja mas yang membayarkannya.
Yanto : Ya sudah, memang ini sudah larut malam. Nanti juga tidak baik. Apa kata orang jika pulang malam-malam. Kalau begitu mari kita pulang.
Pacar Yanto : Baik lah mas. Terimakasih.
Pak………… Becak pak… (teriak pacar Yanto dengan kerasnya)
Dengan kecepatan dan kelincahan pak Wage lalu membuka plastik untuk dijadikan sebagai tutup becak agar tidak kehujanan. Sekilas pak Wage melihat wajah penumpangnya. Pak Wage melihat penumpang itu seperti taka sing-asing amat. Dan pak Wage terkejut ketika melihat penumpang terakhirnya malam ini adalah anaknya sendiri, Yanto. Tetapi pak Wage mencoba untuk menenangkan fikiran dan hatinya.
Pacar Yanto : Kok diam, Mas ?? (dengan wajah yang penuh tanda Tanya dihidungnya)
Yanto : Tidak apa-apa dik (mencoba menenangkan hatinya dengan keadaan seperti itu)
Pacar Yanto : Marah ya Mas, kok diam saja? Jangan diam gitu dong.
Yanto : Mas ndak marah dik.
Pacar Yanto : Tapi , ya jangan diam kayak gitu dong. Masak aku harus duduk sama patung di becak. Kan nggak lucu jadinya?
Rasa bangga, haru, dan sedih bercampur jadi satu-kesatuan yang teramat pahit dalam hati. Pak Wage merasa bangga, tetapi kepedihan pun juga terasa saat Yanto berpura-pura tidak mengenali bapaknya didepan pacarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar